Hanamizuki (2010)
Hirasawa Sae adalah seorang gadis pintar yang bercita-cita untuk belajar Bahasa Inggris di Universitas di Tokyo. Sae tinggal berdua dengan ibunya sejak kematian ayahnya ketika usianya 5 tahun. Satu-satunya hal yang mengingatkan Sae pada ayahnya adalah pohon dogwood yang berdiri kokoh di depan rumahnya. Pohon itu ditanam sendiri oleh ayahnya dengan sepenuh hati, karena itu tiap kali melihat pohon itu, Sae merasa ayahnya selalu mengawasinya.
Saat hari ujian masuk universitas, Sae tidak sengaja bertemu dengan Kiuchi Kohei, seorang siswa SMA Perikanan. Karena kecelakaan kecil yang mereka alami, Sae batal mengikuti ujian. Sae sedih bukan main, apalagi pihak sekolah terlanjur memberikan rekomendasi pada siswa lain. Kohei yang dari awal bertemu sudah menyukai Sae, menyemangati gadis itu untuk mengikuti ujian masuk umum. Sae yang tadinya sempat menyalahkan Kohei atas kegagalannya, setelah berpikir lama akhirnya kembali semangat untuk mengikuti ujian masuk itu. Untuk mempersiapkan diri, Sae mengikuti bimbingan belajar, sedangkan Kohei mulai bekerja paruh waktu, dengan demikian mereka punya alasan untuk pulang bersama setiap hari.
Makin hari kedua remaja itu makin dekat. Saling bercerita tentang diri masing-masing. Kohei yang dibesarkan di keluarga nelayan, sejak kecil telah bercita-cita menjadi seorang nelayan. Kohei tidak pernah mengalami masa-masa belajar susah payah demi masuk ke sekolah bergengsi seperti Sae. Setiap harinya, setelah pulang belajar di SMA Perikanan, Kohei membantu ayahnya bekerja, menjemur rumput laut, dan menangkap ikan. Sae bercerita tentang ayahnya yang semasa hidup sangat jarang dia temui. Ayahnya berprofesi sebagai fotografer, dan seringkali pergi meninggalkan Sae dan ibunya untuk waktu yang lama demi pekerjaannya itu. Ayahnya baru benar-benar pulang ketika menyadari penyakit kanker yang dideritanya. Sae masih menyimpan dengan baik foto yang diambil ayahnya ketika Sae masih balita, dengan latar belakang langit senja, Sae kecil dan ibunya berdiri tak jauh dari sebuah mercusuar. Foto itu diambil di Kanada. Saat Sae menunjukkan foto itu pada Kohei, mereka berdua berujar suatu hari akan pergi ke sana, ke Kanada, tempat dimana Sae dilahirkan…
Sempat mengalami pasang surut karena perbedaan impian dan prinsip dalam usaha pencapaiannya, Sae dan Kohei berhasil mempertahankan hubungan mereka hingga kemudian Sae membawa kabar gembira tentang kelulusannya. Antara bahagia karena Sae berhasil, dan sedih karena harus berpisah, Kohei akhirnya memutuskan untuk tidak ikut melepas keberangkatan Sae ke bandara. Sebagai gantinya, karena desakan para sahabatnya, Kohei berlayar di sepanjang jalan yang dilalui Sae sambil membawa spanduk bertuliskan ‘Ganbatte, Sae’ (Do your best, Sae). Sae menangis terharu, berteriak-teriak mengucapkan terima kasih dan berjanji akan terus berkirim surat untuk Kohei.
Mulailah mereka menjalani long distance relationship. Di tengah padatnya kerumunan mahasiswa di Tokyo, Sae bertemu dengan pribadi menyenangkan, Kitami Junichi, seorang mahasiswa tahun ke enam yang memiliki profesi sampingan sebagai fotografer lepas. Dengan bantuan Junichi, Sae mendapatkan part time job sebagai guru di sebuah bimbingan belajar. Kesibukan Sae membuatnya tidak lagi memiliki banyak waktu untuk sekedar ngobrol di telepon dengan Kohei, apalagi untuk pulang saat liburan. Kohei merasa kehilangan dan tidak lagi bisa berkonsentrasi menjalani aktivitasnya, dia kemudian memutuskan pergi ke Tokyo untuk merayakan Christmas’ Eve bersama Sae. Awalnya sempat cemburu melihat kedekatan Sae dan Junichi, kedatangan Kohei waktu itu semakin menguatkan hubungan mereka. Kohei memberikan sebuah miniatur kapal nelayan buatannya pada Sae sebagai hadiah natal. Ada sebuah bendera yang tertancap di miniatur kapal itu, bertuliskan ‘Ganbatte, Sae’. “Even if we’re separated, we’ll be alright, won’t we?”, Sae menangis terharu. “My feelings won’t change. Definitely, for the rest of my life…”, ucap Kohei.
Empat tahun berlalu, Sae telah menempuh semester akhir dan mulai bersusah payah mencoba peruntungannya di dunia kerja. Menghabiskan setiap hari untuk mengikuti wawancara dari satu perusahaan ke perusahaan yang lain, tapi tidak juga mendatangkan hasil. Sae mulai putus asa, merasa sia-sia dulu berkeras untuk belajar di Tokyo. Sementara itu, Kohei juga mengalami masa sulit, dia hampir memutuskan untuk pindah ke Tokyo bersama Sae ketika ayahnya menjual Koeimaru, kapal nelayan milik keluarganya, karena terlilit hutang dan terancam bangkrut. Kohei berpikir bahwa dia tidak bisa lagi meneruskan profesi turun menurun dalam keluarganya tanpa kapal itu. Tapi takdir bicara lain, pada malam terakhir berlayar bersama Koeimaru, ayah Kohei meninggal karena serangan jantung. Kohei terisak menelepon Sae, berkata bahwa ini adalah hukuman karena dia berniat untuk ‘berpisah’ dengan laut. Dia tidak bisa pergi ke Tokyo karena harus bertahan demi ibu dan adik perempuannya, Sae pun mengiyakan dengan air mata berlinang. “Since the beginning, I have never been in Sae’s future…”, kata Kohei. Sebelum mengucapkan sayonara, Kohei meminta Sae untuk terus menggapai impiannya. Hubungan empat tahun yang berakhir melalui telepon itu menyisakan sakit bagi Kohei dan Sae…
Waktu terus berlalu. Tiga tahun kemudian, lagi-lagi dengan bantuan Junichi, Sae mendapatkan pekerjaan di New York, yang tadinya hanya sekedar part time, menulis artikel seni untuk sebuah media cetak mulai terlihat sebagai profesi menjanjikan untuk Sae. Junichi bekerja di tempat yang sama, hanya saja ketertarikannya pada anak-anak di daerah perang sebagai obyek foto membuatnya seringkali bepergian ke berbagai Negara yang sedang berada dalam kondisi genting. Setelah saling mengenal selama tujuh tahun, Sae tetap terkejut ketika kemudian senpai-nya itu mengajaknya menikah…
Sae pulang ke Hokkaido untuk menghadiri pernikahan Minami, sahabatnya. Di sana dia bertemu lagi dengan Kohei, tapi kali ini tidak sendiri, Kohei datang bersama Ritsuko yang dia kenalkan sebagai istrinya. Pulang berarti membuka kenangan kembali bersama Kohei. Mereka berjanji untuk bertemu di mercusuar, tempat kenangan saat mereka ber-first kiss. Sae bermaksud mengembalikan miniatur kapal pemberian Kohei karena kemungkinan dia tidak akan lagi pulang ke Jepang. Sae berencana untuk menikah dan menetap di New York. Mendengar kabar itu, Kohei mengucapkan selamat dengan senyum mengembang. Merasa ini adalah pertemuan terakhir mereka, selama perjalanan pulang, Kohei dan Sae saling diam dengan perasaan masing-masing. Setibanya di rumah Sae, Kohei tak kunjung pergi melihat Sae menjauh. Sae berjalan perlahan menuju rumahnya, beberapa langkah kemudian dia tiba-tiba berhenti merasakan kelopak bunga dogwood yang berguguran, seakan-akan memaksanya untuk berbalik. Dan ketika Sae benar-benar berbalik, Kohei ternyata sudah turun dari mobilnya. Saling menatap sesaat, mereka kemudian berlari, saling merengkuh dan mendekap erat seakan tak mau lepas. Bertahun berpisah ternyata tidak membuat perasaan mereka mereda… “Sae… you must be happy…”, menekan perasaannya, Kohei hanya bisa mengucapkan itu.
Perpisahan yang ke dua bagi Kohei dan Sae ternyata tidak lantas membuat kehidupan mereka berjalan sebagaimana yang diharapkan. Usaha Kohei untuk mempertahankan bisnis nelayan keluarganya tidak berhasil, kali ini dia benar-benar bangkrut. Ritsuko yang kecewa karena hal itu ditambah kebohongan Kohei ketika menemui Sae, memutuskan untuk meninggalkan Kohei. Pada saat yang bersamaan, Sae harus kehilangan Junichi. Ketika telah memantapkan hati untuk menerima lamaran Junichi, Sae justru menerima kabar bahwa Junichi tertembak mati di Irak.
Dua tahun setelah kematian Junichi, Sae mengadakan pameran foto Junichi yang begitu menginspirasi banyak orang. Saat itu ibunya ikut hadir dan berkata bahwa pintu rumah akan selalu terbuka menyambut kepulangan Sae. Sebelum memutuskan untuk benar-benar kembali ke Jepang, Sae melakukan perjalanan ke Kanada untuk melihat mercusuar yang ada di dalam foto kenangan yang ditinggalkan ayahnya. Masih di daerah sekitar laut, Sae dikejutkan oleh guguran kelopak bunga dogwood yang muncul tiba-tiba, padahal di sekelilingnya waktu itu tidak ada pohon dogwood. Merasa itu selalu menjadi sebuah pertanda baginya, Sae memutuskan untuk berkeliling, mencari apapun itu yang menahan langkahnya. Dan terkejutlah dia melihat miniatur kapal pemberian Kohei terpajang manis di sebuah bar. Si pemilik bar menjelaskan bahwa seorang nelayan muda dari Jepang meninggalkannya di sana dan berkata bahwa pemilik miniatur kapal itu lahir di tempat ini. Menyadari yang dimaksud adalah Kohei, Sae berlari sekencang-kencangnya ke arah pelabuhan, di mana sebuah kapal berbendera Jepang mulai menjauh. Sekuat tenaga Sae berteriak “Kohei-kun! Kohei-kun!” berharap Kohei bisa mendengarnya, tapi kapal itu sudah terlalu jauh.
Sae akhirnya pulang ke Jepang. Menjadikan rumahnya sebagai tempat belajar Bahasa Inggris untuk anak-anak. Menghabiskan sebagian besar waktunya bersama murid-murid kecilnya itu. Setahun berlalu, ketika kemudian Kohei muncul di halaman rumah Sae, dengan miniatur kapal di tangannya. Setelah tahunan waktu yang mereka lewati, setelah berliku jalan yang mereka lalui, mereka akhirnya bertemu lagi, pulang ke rumah, pulang ke hati. Saling berucap ‘Okaeri…’ (Welcome back) dan ‘Tadaima…’ (I’m home). Tidak ada lagi yang akan pergi.
No comments: